Translate

Rabu, 26 Desember 2012

PANDANGAN AGAMA TERHADAP KKN

Leave a Comment

Pengertian KKN

a. Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja memutarbalik, menyogok) adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Atau, mengambil /menyalah gunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri tanpa memperhatikan dampak ny terhadap org banyak.
b. kolusi adalah sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar
c. Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya.
Atau, sikap yang lebih memilih sanak saudara dalam pemilihan kekuasaan.
Biasanya diperusahaan ini sering terjadi.

Kalau kita amati apa yang berlangsung sekarang, orang menggabungkan ketiga tindak pidana atau pelanggaran ketentuan ini menjadi satu istilah, KKN. Dalam penggunaanya ketiga hal ini seolah-oleh telah menjadi satu kata. Saya takut malah sudah menjadi suatu slogan. Akan tetapi sebagai akibatnya pembahasan mengenai masalahnya sendiri menjadi tidak fokus, sebagai konsep mengambang, dan secara operasional menyulitkan. Kalau seseorang dituduh melakukan tindakan KKN, mana sebenarnya yang dituduhkan, korupsi, kolusi atau nepotisme atau ketiga-tiganya atau dua. Ini tidak jelas. Sebagai suatu tuduhan politis atau sosial saya kira tidak menjadi masalah, ketiganya merupakan tindakan tercela yang ingin kita berantas.
Istilah KKN dianggap dimengerti semua orang, tetapi begitu dibahas lebih mendalam, ternyata orang mempunyai konsep atau definisi yang berbeda satu dengan yang lain. Tentu diskusi atas dasar konsep yang dikira mempunyai satu arti, padahal tidak, ini dapat menjadi simpang siur. Ini hampir menjadi jaminan akan tidak adanya program atau tindakan yang nyata untuk menghilangkannya.
Kecenderungan sekarang, nampaknya yang dimaksud masalah KKN adalah masalah korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pak Harto dan keluarga serta kroninya. Ini selain tidak lengkap juga rancu secara operasionalnya. Misalnya jawaban terhadap pertanyaan siapa itu keluarga dan kroni pak Harto? Keluarga mungkin jelas, tergantung kepada seberapa jauh akan di tarik hubungan darahnya. Akan tetapi bagaimana dengan kroninya? Bagaimana kita membuat batas mana yang termasuk kroni dan mana yang bukan? Apakah seperti kepemilikan saham perusahaan, kalau kedekatannya sekian persen dianggap kroni yang kurang dari itu bukan. Ini tidak gampang. Yang jelas, karena caci makian terus ke pada pak Harto dan keluarganya, maka semua yang semula getol menunjukkan kedekatannya sekarang sibuk menunjukkan kejauhannya. Yang berhasil menunjukkan kejauhannya dianggap bukan kroninya, sedangkan yang tidak, atau karena tidak dipercaya atau karena tidak ikut bicara, dimasukkan sebagai kroninya.
Selain itu juga terdapat masalah, bagaimana memulai proses peanganannya sehingga masyarakat yakin bahwa seluruh masalah KKN akan diselesaikan secara tuntas. Misalnya dimulai dengan mantan Presiden dan keluarganya, seperti sekarang terkesan demikian. Ini baik. Akan tetapi perlu ada kejelasan bagi masyarakat, bagaimana program penanganan ini secara keseluruhan, apakah ini tahap permulaan yang akan diikuti dengan yang lain, bagaimana strategi pendekatannya, ini semua perlu kejelasan, sehingga masyarakat mengetahui kesungguhan dari usaha ini. Saya yakin masyarakat menghendaki hal ini. Penanganannya harus tuntas, terbuka dan adil. Karena masalahnya rumit dan penanganannya memakan waktu, maka kejelasan strategi penanganan secara keseluruhan perlu diumumkan agar masyarakat mengetahui dan dengan demikian memahami sampai dimana dan mengapa demikian. Keterbukaan ini juga perlu agar penganganan masalah KKN yang didasarkan atas tuntuan keadilan ini jangan sampai menimbulkan ketidak adilan baru.
Selain itu, jelas tidak benar kalau masalah KKN itu hanya menyangkut pak Harto dengan keluarga dan kroninya. Setiap tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme oleh siapapun harus dikategorikan sebagai masalah KKN. Kalau sudah ada kejelasan mengenai apa yang dimaksud dengan KKN dengan definisi yang operasional dengan perincian kriterianya, maka pelaksanaan ketentuan ini akan menjadi lebih jelas.
Kejelasan konsep atau definisi ini sangat penting, akan tetapi baru merupakan langkah yang sangat awal untuk menentukan langkah berikutnya. Memang tanpa kejelasan ini gerakan menghapus KKN hanya mendasarkan diri atas emosi bagi yang menuntut dan politik bagi yang menangani . Penaggulangan masalah KKN sampai sekarang nampaknya dilakukan atas dasar kedekatan atau kejauhan seseorang dengan penguasa. Ini tidak menyelesaikan masalah atau membuat masalah baru. Tindakan untuk meminta pertanggung jawaban pelaku pelanggaran ketentuan KKN dengan menyeret seseorang ke Kejaksaan Agung untuk diperiksa atas dasar laporan yang tidak jelas dan menggunakan dasar yang tidak jelas hanya sekedar memenuhi tuntutan masyarakat saja, lebih untuk kepentingan kehumasan. Selain itu tindakan ini dapat menumbuhkan ketidak adilan baru seperti melepas yang sebenarnya bersalah atau menindak yang sebenarnya tidak bersalah.
Argumentasi perlunya suatu badan yang independen untuk menangani masalah KKN adalah agar terjadi penanganan yang adil dan efektif dari masalah ini. Dalam keadaan normal, sebenarnya penanganan oleh instansi penegak hukum yang ada - kejaksaan, kepolisian dan kehakiman - telah akan menjamin independensi lembaga yang bertugas menangani masalah ini dari campur tangan pemerintahan. Akan tetapi dalam keadaan rendahnya kredibilitas dari lembaga-lembaga ini di mata masyarakat, maka ini menjadi suatu masalah tersendiri. Ketidak jelasan arti KKN serta rendahnya kredibilitas lembaga-lembaga penegak hukum menambah komplikasi upaya pemberantasan KKN betapapun nyaringnya tuntutan masyarakat dan janji Pemerintah untuk memperhatikan tuntutan tersebut.
Tanpa adanya kejelasan arti atau definisi dari masing-masing unsur KKN, tanpa adanya program menyeluruh apa yang akan dilakukan, tindakan yang sporadis hanya menumbuhkan kecurigaan-kecurigaan yang mungkin tidak perlu. Karena itu, dalam keadaan masih belum kokohnya kredibilitas aparat penegakan hukum, penanganan KKN harus didasarkan atas konsep yang jelas didefinisikan dengan kriteria atau batasan-batasannya, strategi pendekatannya secara menyeluruh dengan pentahapannya, Semua menyadari bahwa masalah ini sangat kompleks dan pelik, karena itu tidak akan selesai secara cepat. Akan tetapi justru karena itu maka kejelasan semua ini dengan pengumuman terbuka oleh Pemerintah mengenai hal-hal tadi harus dilakukan.


MEMBUAT BATASAN ARTI KKN

Kita mengamati bahwa apa yang dimaksud dengan korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN itu bisa berbeda bagi orang yang satu dengan yang lain. Karena itu pembahasan di suatu diskusi atau polemik dan pemberitaan di media mengenai hal ini sering menjadi simpang siur. Mungkin pengertian untuk masing-masing kata; korupsi, kolusi dan nepotisme memang tidak sama bagi orang yang berbeda, apalagi kalau sudah digabungkan menjadi satu.
Dalam hubungan ini perlu disadari bahwa di dalam masyarakat kita memang sering digunakan istilah yang dianggap dimengerti semua orang, padahal kalau dibahas sedikit lebih mendalam ternyata terdapat perbedaan pendapat ataupun nuansa yang bisa besar antara satu dengan yang lain. Ini kemudian menimbulkan keadaan dimana masalah yang dibahas menjadi menggantung dan solusinya tidak ditemukan.
Ada pernyataan 'the devil is in the detail'. Tanpa adanya batasan dan rincian yang akurat suatu istilah atau konsep dapat menjadi kabur, demikian pula masalah yang berkaitan dengan istilah tersebut. Dan kalau konsepnya saja tidak jelas atau tidak akurat bagaimana dapat dihasilkan suatu penyelesaian dari masalah yang berkitan dengan istilah tersebut ?
Dalam masalah KKN, memang pada umumnya benar bahwa ketiganya menjadi satu, ketiganya merupakan masalah, karena itu harus diselesaikan. Tetapi apakah penyelesaian dengan menggabungkan ketiga masalah ini menjadi satu itu realistis? Saya takut bahwa menggabungkan ketiga tindak kejahatan ini menjadi satu lebih banyak menimbulkan perbedaan pendapat, tidak membantu penyelesaiannya, bahkan mungkin malahan menghambat.
Saya melihat bahwa dalam kenyataannya penggabungan ketiga tindak kejahatan ini menjadi satu justru membatasi kemajuan proses penanganannya. Sebagai suatu pernyataan politis memang enak kedengarannya, pemberantasan KKN secara tuntas. Untuk membuat suatu program yang bisa dilaksanakan perlu ditentukan mana yang sebenarnya menjadi akar masalah, mana yang menjadi akibat, mana yang merupakan dampak sampingan, bagimana ukuran besar kecilnya masalah, ketentuan mana yang dilanggar, dsb.
Kalau ingin menghilangkan secara tuntas masalah KKN, pengertian ini harus jelas; apa yang dimaksud dengan masing-masing, mana yang bergandengan, mana yang akhirmya merugikan, dst. Sering batasan yang terlalu rinci juga bikin bingung. Akan tetapi saya yakin bahwa untuk masalah KKN definisi yang jelas harus ada, agar tidak membuat masalahnya menjadi rancu dan jalan keluarnya tidak kunjung nampak.
Tanpa kejelasan konsep atau definisi apa yang dimaksud dengan masing-masing unsur dari ketiganya, saya takut pemberantasan KKN akan tetap menjadi slogan, semua setuju, semua mendukung, tetapi tidak dicapai kemajuan. Penanganan masalah KKN sampai sekarang nampak terlalu politis, hanya untuk memberi kesan bahwa Pemerintah menangani masalahnya secara sungguh-sungguh.  Kasus KKN sangat banyak, akan tetapi tidak diberikan penjelasan terbuka mengenai kasus mana yang ditangani dan mana yang tidak, mana yang didahulukan dan mana yang dikemudiankan, dan mengapa demikian.

Hukum, Politik dan KKN

Korupsi di tanah negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde yang muncul silih berganti sejak republik berdiri.Apa sebab? Banyak faktor, tapi sebenarnya berpusat pada satu hal, yakni “toleransi terhadap korupsi”.
Sebagai “calculated crime”, para pelaku korupsi bernaluri “cost and benefit”. Terjadi hitung-hitungan resiko di situ. Jika kemungkinan resiko diketahui, diusut, dan dihukum semakin kecil, maka aksi korupsi akan semakin subur, demikian juga sebaliknya.
Absennya tindakan hukum yang tegas terhadap koruptor selama ini, merupakan salah satu penjelasan mendasar mengapa korupsi di bumi negeri tetap tumbuh subur.
Kebencian terhadap korupsi, merupakan modal awal sekaligus langkah pertama yang diperlukan untuk memberangus “warisan haram” itu.
Korupsi harus dihadapi tegas. Bahwa ia merupakan musuh utama negara dan pemerintahan. Bahwa koruptor adalah orang tercela dan sangat berbahaya yang harus dihukum tanpa ampun. Karena korupsi adalah kejahatan orang profesional yang rakus. Sudah berkecukupan, tapi serakah.
Langkah kedua, masih terkait dengan semangat kebencian terhadap korupsi, yaitu melembagakan “kebencian sosial” itu ke semua lapisan. Ini perlu dilakukan untuk menghundari meluasnya sindom criminaloid pada pelaku korupsi.
Langkah ketiga, terkait kebutuhan proses hukum yang efektif memberantas korupsi, maka segera dilakukan konsolidasi (become solid, become strong) terhadap semua elemen law enforcement, mulai dari aparat (yang kurang profesional), institusi/ lembaga (yang tidak akuntabel dan tidak transparan), tata kerja/ managemen (yang korup dan manipulatif), sarana/ prasarana (yang serba terbatas), sampai pada soal aturan/ perundang-undangan (yang masih tumpang tindih)
Selain konsolidasi, perlu pula dilakukan koordinasi dan “lobby”. Upaya lobby dibutuhkan untuk keperluan pembenahan berbagai persoalan yang melibatkan lembaga lain di luar eksekutif, seperti MA (untuk pembenahan pengadilan) dan parlementer ( untuk pembenahan perundang-undangan dan alokasi anggaran).
Sedangkan koordinasi diperlukan dalam rangka pembenahan unsur-unsur law enforcement yang ada dalam wilayah eksekutif, seperti kepolisian, kejaksaan, dan departemen kehakiman.
Langkah keempat, segera menata sistem kerja yang terpadu antara semua unsur dalam sistem peradilan pidana (SPP).
Semua unsur SPP harus diikat dalam “satu komitmen bersama” untuk:
1.      Memproses setiap tindak kejahatan/korupsi.
2.      Menyelesaikan kejahatan/ korupsi yang terjadi.
3.      Menghasilkan penghukuman yang adil.
4.      Merestorasi terhukum agar kembali baik.
Lagi-lagi di sini perlu koordinasi dan”konsiliasi”.
Langkah kelima, untuk memulihkan kepercayaan masyarakat/ publik, maka segera laksanakan “paket aksi” jangka pendek berupa pengusutan kasus-kasus korupsi yang ada.
Wakil rakyat di daerah, kini tengah jadi sorotan. Bukan karena prestasi gemilang mengejewantahkan tugas perwakilan, tapi karena aksi busuk “pesta anggaran” alias korupsi massal.
Secara kodrati, kata Plato dan Hobbes, manusia dikuasai oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri.
Tampaknya, korpsi massal dalam lingkungan wakil rakyat di daerah selama otonomi daerah, merupakan hasil perpaduan yang sempurna antara nafsu individu seorang manusia dengan ketiadaan hukum yang bermoral.
Menghadapi watak peraturan yang terbuka bagi terjadinya “permainan hukum” tersebut, khususnya dalam penanganan kasus KKN, banyak pihak mengharapkan penyelamatan lewat pemberlakukan keadaan darurat.

Pandangan Agama Kristen terhadap KKN

Hampir 11 tahun silam istilah ini diperkenalkan kepada khalayak ramai. Bahkan istilah ini telah menjadi istilah yang paling sering di dengar di televisi dan juga di tulis dalam surat kabar. Menurut penelitian dan perbandingan yang dilakukan oleh suatu badan anti korupsi, Negara kita menjadi Negara terkorup ke-dua, dan bukan suatu yang mustahil bila suatu saat nanti Negara kita akan menempati urutan pertama dalam hal KKN.
KKN secara tidak kita sadari telah benar-benar merasuk dalam kehidupan kita, tidak hanya sebagai bangsa, bahkan sebagai individu yang beragama. Departemen Agama memperoleh peringkat ke dua setelah departemen kesehatan sebagai departeman yang terkorup di Indonesia. Bukankah hal tersebut memilukan? Sebagai bangsa yang dikatakan ‘takut akan Tuhan’, bangsa kita ternyata tidak takut melakukan apa yang dilarang oleh Tuhan.Kita terkadang secara sadar maupun tidak sadar telah ikut menjadi oknum pelaku KKN.
Ternyata KKN tidak hanya ada di Indonesia dan di dunia pada abad ke 20, karena melalui injil markus kita diberi kesaksian Alkitab tentang praktek KKN pada masa Tuhan Yesus. Injil Markus 11: 15-19 menceritakan kepada kita apa yang para imam lakukan di bait Allah yang membuat Yesus marah besar.
Yesus marah bukan tanpa alasan yang jelas. Beberapa hal yang membuat Yesus marah adalah:
1. Ay 16 memberi catatan bahwa pelataran bait Allah digunakan untuk aktifitas jual beli. Coba kita bayangkan bila kita pergi ke pasar. Orang hilir mudik, mungkin ada yang berteriak-teriak, ada yang lalu lalang, dan lain sebagainya. Dengan suasana seperti itu, dapatkah seseorang berdoa ( beribadah ) dengan tenang? Tentu tidak kebisingan seperti itu tentu saja dapat mengganggu aktifitas peribadahan.
2. Ay 16 juga mencatat, bahwa di pelataran itu terdapat penukaran mata uang dan penjual merpati (merpati digunakan sebagai binatang persembahan bagi rakyat miskin). Memang tidak disebutkan binatang lain selain merpati, namun bila merpati sebagai kurban bakaran di jual disana, maka kemungkinan besar binatang lain yang diperdagangkan sebagai hewan bakaran juga akan hadir di sana yaitu kambing dan domba. Apa yang terjadi bila kambing dan domba ada di gereja kita. Tentu selain bising dari para penjual dan pembeli, suara kambing dan domba turut meramaikan suasana. selain itu mereka tentu mengotori pelataran bait Allah dengan segala kotoran dan makanan mereka. Menutut beberapa sumber, mereka juga menggelar dagangannya di antara pilar bait suci di pelataran dalam yang biasanya digunakan untuk pengajaran oleh para ahli taurat. Mengapa Yesus marah, karena mereka melakukan hal yang tidak pada tempatnya, dan tentu saja karena mereka menghambat bahkan menghalangi umat melakukan aktivitas beribadah di Bait Allah.
3. sebenarnya penukaran mata uang adalah layanan resmi di bait Allah. Karena perbendaharaan Bait Suci hanya menerima mata uang Yahudi, sedangkan tidak semua orang punya mata uang Yahudi karena pada saat itu mata uang Roma dan Yunani lebih umum digunakan di pasar luas. Dan layanan ini memang biasa dilakukan di pelataran bangsa-bangsa, sehingga tidak mengganggu kekudusan Bait Allah dan tentunya tidak akan menggangu aktivitas peribadahan. Lalu mengapa Yesus menjadi marah? Bukankah aktivitas perdagangan menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan? Bukan perdagangan dan penukaran uang yang ditentang Yesus, melainkan ‘permainan’ bisnis yang dilakukan oleh para pejabat bait Allah itu. Perdagangan hewan kurban yang dilakukan di Bait Allah merupakan hasil kolusi para imam dengan para pedagang hewan kurban. Pada masa itu hewan kurban dimonopoli oleh para imam dan pejabat Bait Allah, sehingga umat tidak dapat membeli hewan kurban selain di Bait Allah. Selain itu harga jual yang ditawakan kepada umat sangat memberatkan umat. Secara khusus bagi mereka yang miskin. Umat yang mengalami kesulitan ekonomi, yang hanya mampu membeli merpati sebagai hewan kurbannya untuk mengganti hewan kurban yang lebih mahal, semakin dipersulit. Padahal kurban bakaran merupakan hal yang sangat penting pada umat mada masa itu. Kurban digunakan sebagai penebus dosa dan lain sebagainya. Dan para imam mengambil keuntungan dari penjualan tersebut untuk keuntungan mereka sendiri. Oleh karena itu Yesus menyebut mereka sebagai penyamun, (ay. 17) atau dalam terjemahan aslinya lestes yang artinya pencuri.
Dengan melakukan hal tersebut, para pejabat Bait Allah dapat dikatakan menjadi orang orang yang merugikan masyarakat Yahudi, bahkan mengambil yang bukan haknya. Mereka merampok kepentingan masyarakat untuk berbakti kepada Allah. Untuk dapat beribadah umat harus mengeluarkan uang lebih banyak dari seharusnya.
Dan Yesus secara terang terangan mengutuk perbuatan mereka itu. Bukan hanya karena mereka menggunakan Bait Allah yang seharusnya menjadi tempat orang berbakti kepada Tuhan sebagai tempat utuk berdagang, namun terutama karena Yesus datang sebagai sosok yang berpihak kepada mereka yang miskin, mereka yang terbelenggu dan tertekan oleh tirani. Apa yang mereka lakukan di bait Allah adalah sesautu yang pada hakekatnya dapat merusak Bait Allah sebagai rumah doa, rumah tempat Allah berdiam. Doa disini tentu bukan hanya ibadah yang bersifat ritual, karena doa adalah bagian dari hidup, maka apa yang dilakukan oleh para imam dan pemuka agama pada masa itu, dapat merusak seluruh tatanan hidup manusia. Termasuk merusak diri mereka secara pribadi. Doa dan ibadah merupakan keseluruhan hidup manusia, bukan hanya yang kelihatan tapi terutama motivasi di balik suatu perbuatan.
Menurut Alkitab yang harus dilakukan agar kita terhindasr dari KKN antara lain:
1. Ketaatan kepada Tuhan. Tanpa ketaatan kepada Tuhan, manusia akan cenderung takluk terhadap godaan. Siapa sih yang ga suka dapat uang, walaupun uang itu adalah uang panas. Mengapa? Karena kata orang uang dapat membeli segala-galanya. Tanpa uang maka manusia tidak bisa hidup. Dengan meningkatkan ketaatan kita kepada Tuhan kita akan secara tidak langsung kita juga mendorong diri untuk mementingkan kepentingan dan kehendak Tuhan dari pada kehendak diri atau ego kita sebagai manusia. Kehendak Tuhan haruslah menjadi yang utama dalam hidup kita dna bukan keinginan diri apalagi yang dapat merugikan orang lain.
2. Kekuatan dari Tuhan. Kita mungkin masih bisa taat, bila godaan belum terlalu besar. Tapi bagaimana bila godaan yang ada membuat kita lebih memilih jalan pintas melalui KKN, bagaimana bila godaan itu menyangkut kebutuhan dalam hidup, misalnya dengan menyogok guru supaya lulus, menggunakan uang untuk membiayai sanak saudara yang sedang kritis, dan lain sebagainya. Bila kita hanya mengandalkan kekuatan kita sebagai manusia, maka bukan sesautu yang mustahil kita terjebak dengan godaan KKN dan bahkan tenggelam di dalamnya. Dengan mengandalkan kekuatan Tuhan kita akan mampu menolak segala godaan yang datang dalam hidup keremajaan kita. Sama seperti Paulus yang berkata “segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberikan kekuatan kepadaku”
3. Dengarkan Nurani. Nurani adalah suara hati, perasaan hati yang murni, alias belajar mendengarkan suara Tuhan dalam setiap langkah hidup kita sebagai manusia yang terbatas ini. Ketaatan kepada Tuhan dan meminta Kekuatan kepada Tuhan harus disertai dengan ketekunan dalam belajar mendenagr suara Tuhan yang mengingatkan kita. Ketika godaan itu datang menghampiri kita, kadang yang lebih berperan adalah pikiran atau emosi dan disanalah suara hati atau nurani kita diperlukan. Namun karena godaan terlalu besar maka nurani menjadi tertutup suaranya, nyaris….tak terdengar, bahkan tidak terdengar sama sekali. Mari kita belajar juga mendengarkan suara Tuhan dalam hidup kita agar himat Tuhan selalu membantu kita dalam menghadapi segala godaan dan cobaan.

Kesimpulan

Sebagaimana yang telah di paparkan, sesungguhnya KKN memiliki bahasan yang berbeda-beda dari setiap kepandekan kata tersebut. Pendapat  KKN dapat berbeda bagi orang yang satu dengan yang lain. Karena itu pembahasan di suatu diskusi atau polemik dan pemberitaan di media mengenai hal ini sering menjadi simpang siur. Yang jelas semua unsure KKN adalah tindak Pidana dalam Politik, hokum dan juga tindak yang tidak sesuai dangan ajaran agama. Korupsi harus dihadapi tegas. Bahwa ia merupakan musuh utama negara dan pemerintahan. Bahwa koruptor adalah orang tercela dan sangat berbahaya yang harus dihukum tanpa ampun. Karena korupsi adalah kejahatan orang profesional yang rakus. Sudah berkecukupan, tapi serakah. Janganlah KKN menjadi kebudayaan dan tradisi dalam hidup keremajaan kita. Justru kita sebagai generasi muda yang takut akan Tuhan harus menjadi contoh dan pelopor dalam memberantas korupsi di negeri ini.

0 komentar:

Posting Komentar