Pengertian KKN
a. Korupsi (bahasa
Latin: corruptio dari kata kerja memutarbalik, menyogok) adalah
perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang
secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka.
Atau, mengambil /menyalah gunakan kekuasaan untuk
kepentingan sendiri tanpa memperhatikan dampak ny terhadap org banyak.
b. kolusi adalah
sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi
dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau
fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar
c. Nepotisme berarti
lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan
berdasarkan kemampuannya.
Atau, sikap yang lebih memilih sanak saudara dalam
pemilihan kekuasaan.
Biasanya diperusahaan ini sering terjadi.
Kalau kita amati apa yang berlangsung sekarang, orang menggabungkan ketiga tindak pidana atau pelanggaran ketentuan ini menjadi satu istilah, KKN. Dalam penggunaanya ketiga hal ini seolah-oleh telah menjadi satu kata. Saya takut malah sudah menjadi suatu slogan. Akan tetapi sebagai akibatnya pembahasan mengenai masalahnya sendiri menjadi tidak fokus, sebagai konsep mengambang, dan secara operasional menyulitkan. Kalau seseorang dituduh melakukan tindakan KKN, mana sebenarnya yang dituduhkan, korupsi, kolusi atau nepotisme atau ketiga-tiganya atau dua. Ini tidak jelas. Sebagai suatu tuduhan politis atau sosial saya kira tidak menjadi masalah, ketiganya merupakan tindakan tercela yang ingin kita berantas.
Istilah KKN dianggap dimengerti
semua orang, tetapi begitu dibahas lebih mendalam, ternyata orang mempunyai
konsep atau definisi yang berbeda satu dengan yang lain. Tentu diskusi atas
dasar konsep yang dikira mempunyai satu arti, padahal tidak, ini dapat menjadi
simpang siur. Ini hampir menjadi jaminan akan tidak adanya program atau
tindakan yang nyata untuk menghilangkannya.
Kecenderungan sekarang,
nampaknya yang dimaksud masalah KKN adalah masalah korupsi, kolusi dan
nepotisme yang dilakukan oleh pak Harto dan keluarga serta kroninya. Ini selain
tidak lengkap juga rancu secara operasionalnya. Misalnya jawaban terhadap
pertanyaan siapa itu keluarga dan kroni pak Harto? Keluarga mungkin jelas,
tergantung kepada seberapa jauh akan di tarik hubungan darahnya. Akan tetapi
bagaimana dengan kroninya? Bagaimana kita membuat batas mana yang termasuk
kroni dan mana yang bukan? Apakah seperti kepemilikan saham perusahaan, kalau
kedekatannya sekian persen dianggap kroni yang kurang dari itu bukan. Ini tidak
gampang. Yang jelas, karena caci makian terus ke pada pak Harto dan
keluarganya, maka semua yang semula getol menunjukkan kedekatannya sekarang
sibuk menunjukkan kejauhannya. Yang berhasil menunjukkan kejauhannya dianggap
bukan kroninya, sedangkan yang tidak, atau karena tidak dipercaya atau karena
tidak ikut bicara, dimasukkan sebagai kroninya.
Selain itu juga terdapat
masalah, bagaimana memulai proses peanganannya sehingga masyarakat yakin bahwa
seluruh masalah KKN akan diselesaikan secara tuntas. Misalnya dimulai dengan
mantan Presiden dan keluarganya, seperti sekarang terkesan demikian. Ini baik.
Akan tetapi perlu ada kejelasan bagi masyarakat, bagaimana program penanganan
ini secara keseluruhan, apakah ini tahap permulaan yang akan diikuti dengan yang
lain, bagaimana strategi pendekatannya, ini semua perlu kejelasan, sehingga
masyarakat mengetahui kesungguhan dari usaha ini. Saya yakin masyarakat
menghendaki hal ini. Penanganannya harus tuntas, terbuka dan adil. Karena
masalahnya rumit dan penanganannya memakan waktu, maka kejelasan strategi
penanganan secara keseluruhan perlu diumumkan agar masyarakat mengetahui dan
dengan demikian memahami sampai dimana dan mengapa demikian. Keterbukaan ini
juga perlu agar penganganan masalah KKN yang didasarkan atas tuntuan keadilan
ini jangan sampai menimbulkan ketidak adilan baru.
Selain itu, jelas tidak benar
kalau masalah KKN itu hanya menyangkut pak Harto dengan keluarga dan kroninya.
Setiap tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme oleh siapapun harus dikategorikan
sebagai masalah KKN. Kalau sudah ada kejelasan mengenai apa yang dimaksud
dengan KKN dengan definisi yang operasional dengan perincian kriterianya, maka
pelaksanaan ketentuan ini akan menjadi lebih jelas.
Kejelasan konsep atau definisi
ini sangat penting, akan tetapi baru merupakan langkah yang sangat awal untuk
menentukan langkah berikutnya. Memang tanpa kejelasan ini gerakan menghapus KKN
hanya mendasarkan diri atas emosi bagi yang menuntut dan politik bagi yang
menangani . Penaggulangan masalah KKN sampai sekarang nampaknya dilakukan atas
dasar kedekatan atau kejauhan seseorang dengan penguasa. Ini tidak
menyelesaikan masalah atau membuat masalah baru. Tindakan untuk meminta
pertanggung jawaban pelaku pelanggaran ketentuan KKN dengan menyeret seseorang
ke Kejaksaan Agung untuk diperiksa atas dasar laporan yang tidak jelas dan
menggunakan dasar yang tidak jelas hanya sekedar memenuhi tuntutan masyarakat
saja, lebih untuk kepentingan kehumasan. Selain itu tindakan ini dapat
menumbuhkan ketidak adilan baru seperti melepas yang sebenarnya bersalah atau
menindak yang sebenarnya tidak bersalah.
Argumentasi perlunya suatu
badan yang independen untuk menangani masalah KKN adalah agar terjadi
penanganan yang adil dan efektif dari masalah ini. Dalam keadaan normal,
sebenarnya penanganan oleh instansi penegak hukum yang ada - kejaksaan,
kepolisian dan kehakiman - telah akan menjamin independensi lembaga yang
bertugas menangani masalah ini dari campur tangan pemerintahan. Akan tetapi
dalam keadaan rendahnya kredibilitas dari lembaga-lembaga ini di mata
masyarakat, maka ini menjadi suatu masalah tersendiri. Ketidak jelasan arti KKN
serta rendahnya kredibilitas lembaga-lembaga penegak hukum menambah komplikasi
upaya pemberantasan KKN betapapun nyaringnya tuntutan masyarakat dan janji
Pemerintah untuk memperhatikan tuntutan tersebut.
Tanpa adanya kejelasan arti
atau definisi dari masing-masing unsur KKN, tanpa adanya program menyeluruh apa
yang akan dilakukan, tindakan yang sporadis hanya menumbuhkan kecurigaan-kecurigaan
yang mungkin tidak perlu. Karena itu, dalam keadaan masih belum kokohnya
kredibilitas aparat penegakan hukum, penanganan KKN harus didasarkan atas
konsep yang jelas didefinisikan dengan kriteria atau batasan-batasannya,
strategi pendekatannya secara menyeluruh dengan pentahapannya, Semua menyadari
bahwa masalah ini sangat kompleks dan pelik, karena itu tidak akan selesai
secara cepat. Akan tetapi justru karena itu maka kejelasan semua ini dengan
pengumuman terbuka oleh Pemerintah mengenai hal-hal tadi harus dilakukan.
MEMBUAT BATASAN ARTI KKN
Kita mengamati bahwa apa yang
dimaksud dengan korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN itu bisa berbeda bagi
orang yang satu dengan yang lain. Karena itu pembahasan di suatu diskusi atau
polemik dan pemberitaan di media mengenai hal ini sering menjadi simpang siur.
Mungkin pengertian untuk masing-masing kata; korupsi, kolusi dan nepotisme
memang tidak sama bagi orang yang berbeda, apalagi kalau sudah digabungkan
menjadi satu.
Dalam hubungan ini perlu
disadari bahwa di dalam masyarakat kita memang sering digunakan istilah yang
dianggap dimengerti semua orang, padahal kalau dibahas sedikit lebih mendalam
ternyata terdapat perbedaan pendapat ataupun nuansa yang bisa besar antara satu
dengan yang lain. Ini kemudian menimbulkan keadaan dimana masalah yang dibahas
menjadi menggantung dan solusinya tidak ditemukan.
Ada pernyataan 'the devil is in
the detail'. Tanpa adanya batasan dan rincian yang akurat suatu istilah atau
konsep dapat menjadi kabur, demikian pula masalah yang berkaitan dengan istilah
tersebut. Dan kalau konsepnya saja tidak jelas atau tidak akurat bagaimana
dapat dihasilkan suatu penyelesaian dari masalah yang berkitan dengan istilah
tersebut ?
Dalam masalah KKN, memang pada
umumnya benar bahwa ketiganya menjadi satu, ketiganya merupakan masalah, karena
itu harus diselesaikan. Tetapi apakah penyelesaian dengan menggabungkan ketiga
masalah ini menjadi satu itu realistis? Saya takut bahwa menggabungkan ketiga
tindak kejahatan ini menjadi satu lebih banyak menimbulkan perbedaan pendapat,
tidak membantu penyelesaiannya, bahkan mungkin malahan menghambat.
Saya melihat bahwa dalam
kenyataannya penggabungan ketiga tindak kejahatan ini menjadi satu justru
membatasi kemajuan proses penanganannya. Sebagai suatu pernyataan politis
memang enak kedengarannya, pemberantasan KKN secara tuntas. Untuk membuat suatu
program yang bisa dilaksanakan perlu ditentukan mana yang sebenarnya menjadi
akar masalah, mana yang menjadi akibat, mana yang merupakan dampak sampingan,
bagimana ukuran besar kecilnya masalah, ketentuan mana yang dilanggar, dsb.
Kalau ingin menghilangkan
secara tuntas masalah KKN, pengertian ini harus jelas; apa yang dimaksud dengan
masing-masing, mana yang bergandengan, mana yang akhirmya merugikan, dst. Sering
batasan yang terlalu rinci juga bikin bingung. Akan tetapi saya yakin bahwa
untuk masalah KKN definisi yang jelas harus ada, agar tidak membuat masalahnya
menjadi rancu dan jalan keluarnya tidak kunjung nampak.
Tanpa kejelasan konsep atau
definisi apa yang dimaksud dengan masing-masing unsur dari ketiganya, saya
takut pemberantasan KKN akan tetap menjadi slogan, semua setuju, semua
mendukung, tetapi tidak dicapai kemajuan. Penanganan masalah KKN sampai
sekarang nampak terlalu politis, hanya untuk memberi kesan bahwa Pemerintah
menangani masalahnya secara sungguh-sungguh. Kasus KKN sangat banyak, akan
tetapi tidak diberikan penjelasan terbuka mengenai kasus mana yang ditangani
dan mana yang tidak, mana yang didahulukan dan mana yang dikemudiankan, dan mengapa
demikian.
Hukum,
Politik dan KKN
Korupsi di tanah
negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari sekalipun
diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde yang muncul silih
berganti sejak republik berdiri.Apa sebab? Banyak faktor, tapi sebenarnya
berpusat pada satu hal, yakni “toleransi terhadap korupsi”.
Sebagai “calculated crime”,
para pelaku korupsi bernaluri “cost and benefit”. Terjadi hitung-hitungan
resiko di situ. Jika kemungkinan resiko diketahui, diusut, dan dihukum semakin
kecil, maka aksi korupsi akan semakin subur, demikian juga sebaliknya.
Absennya tindakan hukum
yang tegas terhadap koruptor selama ini, merupakan salah satu penjelasan
mendasar mengapa korupsi di bumi negeri tetap tumbuh subur.
Kebencian terhadap
korupsi, merupakan modal awal sekaligus langkah pertama yang diperlukan untuk
memberangus “warisan haram” itu.
Korupsi harus dihadapi
tegas. Bahwa ia merupakan musuh utama negara dan pemerintahan. Bahwa koruptor
adalah orang tercela dan sangat berbahaya yang harus dihukum tanpa ampun.
Karena korupsi adalah kejahatan orang profesional yang rakus. Sudah berkecukupan,
tapi serakah.
Langkah kedua, masih
terkait dengan semangat kebencian terhadap korupsi, yaitu melembagakan
“kebencian sosial” itu ke semua lapisan. Ini perlu dilakukan untuk menghundari
meluasnya sindom criminaloid pada pelaku korupsi.
Langkah ketiga, terkait
kebutuhan proses hukum yang efektif memberantas korupsi, maka segera dilakukan
konsolidasi (become solid, become strong) terhadap semua elemen law
enforcement, mulai dari aparat (yang kurang profesional), institusi/ lembaga
(yang tidak akuntabel dan tidak transparan), tata kerja/ managemen (yang korup
dan manipulatif), sarana/ prasarana (yang serba terbatas), sampai pada soal
aturan/ perundang-undangan (yang masih tumpang tindih)
Selain konsolidasi,
perlu pula dilakukan koordinasi dan “lobby”. Upaya lobby dibutuhkan untuk
keperluan pembenahan berbagai persoalan yang melibatkan lembaga lain di luar
eksekutif, seperti MA (untuk pembenahan pengadilan) dan parlementer ( untuk
pembenahan perundang-undangan dan alokasi anggaran).
Sedangkan koordinasi diperlukan
dalam rangka pembenahan unsur-unsur law enforcement yang ada dalam wilayah
eksekutif, seperti kepolisian, kejaksaan, dan departemen kehakiman.
Langkah keempat, segera
menata sistem kerja yang terpadu antara semua unsur dalam sistem peradilan
pidana (SPP).
Semua unsur SPP harus
diikat dalam “satu komitmen bersama” untuk:
1.
Memproses setiap tindak
kejahatan/korupsi.
2.
Menyelesaikan kejahatan/ korupsi yang
terjadi.
3.
Menghasilkan penghukuman yang adil.
4.
Merestorasi terhukum agar kembali baik.
Lagi-lagi di sini perlu
koordinasi dan”konsiliasi”.
Langkah kelima, untuk
memulihkan kepercayaan masyarakat/ publik, maka segera laksanakan “paket aksi”
jangka pendek berupa pengusutan kasus-kasus korupsi yang ada.
Wakil rakyat di daerah,
kini tengah jadi sorotan. Bukan karena prestasi gemilang mengejewantahkan tugas
perwakilan, tapi karena aksi busuk “pesta anggaran” alias korupsi massal.
Secara kodrati, kata
Plato dan Hobbes, manusia dikuasai oleh nafsu-nafsu alamiah untuk
memperjuangkan kepentingannya sendiri.
Tampaknya, korpsi
massal dalam lingkungan wakil rakyat di daerah selama otonomi daerah, merupakan
hasil perpaduan yang sempurna antara nafsu individu seorang manusia dengan
ketiadaan hukum yang bermoral.
Menghadapi watak
peraturan yang terbuka bagi terjadinya “permainan hukum” tersebut, khususnya
dalam penanganan kasus KKN, banyak pihak mengharapkan penyelamatan lewat
pemberlakukan keadaan darurat.
Pandangan Agama
Kristen terhadap KKN
Hampir 11 tahun silam istilah ini diperkenalkan
kepada khalayak ramai. Bahkan istilah ini telah menjadi istilah yang paling
sering di dengar di televisi dan juga di tulis dalam surat kabar. Menurut
penelitian dan perbandingan yang dilakukan oleh suatu badan anti korupsi,
Negara kita menjadi Negara terkorup ke-dua, dan bukan suatu yang mustahil bila
suatu saat nanti Negara kita akan menempati urutan pertama dalam hal KKN.
KKN secara tidak kita sadari telah benar-benar
merasuk dalam kehidupan kita, tidak hanya sebagai bangsa, bahkan sebagai
individu yang beragama. Departemen Agama memperoleh peringkat ke dua setelah
departemen kesehatan sebagai departeman yang terkorup di Indonesia. Bukankah
hal tersebut memilukan? Sebagai bangsa yang dikatakan ‘takut akan Tuhan’,
bangsa kita ternyata tidak takut melakukan apa yang dilarang oleh Tuhan.Kita
terkadang secara sadar maupun tidak sadar telah ikut menjadi oknum pelaku KKN.
Ternyata KKN tidak hanya ada di Indonesia dan di
dunia pada abad ke 20, karena melalui injil markus kita diberi kesaksian
Alkitab tentang praktek KKN pada masa Tuhan Yesus. Injil Markus 11: 15-19
menceritakan kepada kita apa yang para imam lakukan di bait Allah yang membuat
Yesus marah besar.
Yesus marah bukan tanpa alasan yang jelas.
Beberapa hal yang membuat Yesus marah adalah:
1. Ay 16 memberi catatan bahwa pelataran bait
Allah digunakan untuk aktifitas jual beli. Coba kita bayangkan bila kita pergi
ke pasar. Orang hilir mudik, mungkin ada yang berteriak-teriak, ada yang lalu
lalang, dan lain sebagainya. Dengan suasana seperti itu, dapatkah seseorang
berdoa ( beribadah ) dengan tenang? Tentu tidak kebisingan seperti itu tentu
saja dapat mengganggu aktifitas peribadahan.
2. Ay 16 juga mencatat, bahwa di pelataran itu
terdapat penukaran mata uang dan penjual merpati (merpati digunakan sebagai
binatang persembahan bagi rakyat miskin). Memang tidak disebutkan binatang lain
selain merpati, namun bila merpati sebagai kurban bakaran di jual disana, maka
kemungkinan besar binatang lain yang diperdagangkan sebagai hewan bakaran juga
akan hadir di sana yaitu kambing dan domba. Apa yang terjadi bila kambing dan
domba ada di gereja kita. Tentu selain bising dari para penjual dan pembeli,
suara kambing dan domba turut meramaikan suasana. selain itu mereka tentu
mengotori pelataran bait Allah dengan segala kotoran dan makanan mereka.
Menutut beberapa sumber, mereka juga menggelar dagangannya di antara pilar bait
suci di pelataran dalam yang biasanya digunakan untuk pengajaran oleh para ahli
taurat. Mengapa Yesus marah, karena mereka melakukan hal yang tidak pada tempatnya,
dan tentu saja karena mereka menghambat bahkan menghalangi umat melakukan
aktivitas beribadah di Bait Allah.
3. sebenarnya penukaran mata uang adalah layanan
resmi di bait Allah. Karena perbendaharaan Bait Suci hanya menerima mata uang
Yahudi, sedangkan tidak semua orang punya mata uang Yahudi karena pada saat itu
mata uang Roma dan Yunani lebih umum digunakan di pasar luas. Dan layanan ini
memang biasa dilakukan di pelataran bangsa-bangsa, sehingga tidak mengganggu
kekudusan Bait Allah dan tentunya tidak akan menggangu aktivitas peribadahan.
Lalu mengapa Yesus menjadi marah? Bukankah aktivitas perdagangan menjadi hal
yang lumrah untuk dilakukan? Bukan perdagangan dan penukaran uang yang
ditentang Yesus, melainkan ‘permainan’ bisnis yang dilakukan oleh para pejabat
bait Allah itu. Perdagangan hewan kurban yang dilakukan di Bait Allah merupakan
hasil kolusi para imam dengan para pedagang hewan kurban. Pada masa itu hewan
kurban dimonopoli oleh para imam dan pejabat Bait Allah, sehingga umat tidak
dapat membeli hewan kurban selain di Bait Allah. Selain itu harga jual yang
ditawakan kepada umat sangat memberatkan umat. Secara khusus bagi mereka yang
miskin. Umat yang mengalami kesulitan ekonomi, yang hanya mampu membeli merpati
sebagai hewan kurbannya untuk mengganti hewan kurban yang lebih mahal, semakin
dipersulit. Padahal kurban bakaran merupakan hal yang sangat penting pada umat
mada masa itu. Kurban digunakan sebagai penebus dosa dan lain sebagainya. Dan
para imam mengambil keuntungan dari penjualan tersebut untuk keuntungan mereka
sendiri. Oleh karena itu Yesus menyebut mereka sebagai penyamun, (ay. 17) atau
dalam terjemahan aslinya lestes yang artinya pencuri.
Dengan melakukan hal tersebut, para pejabat Bait
Allah dapat dikatakan menjadi orang orang yang merugikan masyarakat Yahudi,
bahkan mengambil yang bukan haknya. Mereka merampok kepentingan masyarakat
untuk berbakti kepada Allah. Untuk dapat beribadah umat harus mengeluarkan uang
lebih banyak dari seharusnya.
Dan Yesus secara terang terangan mengutuk
perbuatan mereka itu. Bukan hanya karena mereka menggunakan Bait Allah yang
seharusnya menjadi tempat orang berbakti kepada Tuhan sebagai tempat utuk
berdagang, namun terutama karena Yesus datang sebagai sosok yang berpihak
kepada mereka yang miskin, mereka yang terbelenggu dan tertekan oleh tirani.
Apa yang mereka lakukan di bait Allah adalah sesautu yang pada hakekatnya dapat
merusak Bait Allah sebagai rumah doa, rumah tempat Allah berdiam. Doa disini
tentu bukan hanya ibadah yang bersifat ritual, karena doa adalah bagian dari
hidup, maka apa yang dilakukan oleh para imam dan pemuka agama pada masa itu,
dapat merusak seluruh tatanan hidup manusia. Termasuk merusak diri mereka
secara pribadi. Doa dan ibadah merupakan keseluruhan hidup manusia, bukan hanya
yang kelihatan tapi terutama motivasi di balik suatu perbuatan.
Menurut Alkitab yang harus dilakukan agar kita
terhindasr dari KKN antara lain:
1. Ketaatan kepada Tuhan. Tanpa ketaatan kepada
Tuhan, manusia akan cenderung takluk terhadap godaan. Siapa sih yang ga suka
dapat uang, walaupun uang itu adalah uang panas. Mengapa? Karena kata orang
uang dapat membeli segala-galanya. Tanpa uang maka manusia tidak bisa hidup.
Dengan meningkatkan ketaatan kita kepada Tuhan kita akan secara tidak langsung
kita juga mendorong diri untuk mementingkan kepentingan dan kehendak Tuhan dari
pada kehendak diri atau ego kita sebagai manusia. Kehendak Tuhan haruslah
menjadi yang utama dalam hidup kita dna bukan keinginan diri apalagi yang dapat
merugikan orang lain.
2. Kekuatan dari Tuhan. Kita mungkin masih bisa
taat, bila godaan belum terlalu besar. Tapi bagaimana bila godaan yang ada
membuat kita lebih memilih jalan pintas melalui KKN, bagaimana bila godaan itu
menyangkut kebutuhan dalam hidup, misalnya dengan menyogok guru supaya lulus,
menggunakan uang untuk membiayai sanak saudara yang sedang kritis, dan lain
sebagainya. Bila kita hanya mengandalkan kekuatan kita sebagai manusia, maka
bukan sesautu yang mustahil kita terjebak dengan godaan KKN dan bahkan
tenggelam di dalamnya. Dengan mengandalkan kekuatan Tuhan kita akan mampu
menolak segala godaan yang datang dalam hidup keremajaan kita. Sama seperti
Paulus yang berkata “segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang
memberikan kekuatan kepadaku”
3. Dengarkan Nurani. Nurani adalah suara hati,
perasaan hati yang murni, alias belajar mendengarkan suara Tuhan dalam setiap
langkah hidup kita sebagai manusia yang terbatas ini. Ketaatan kepada Tuhan dan
meminta Kekuatan kepada Tuhan harus disertai dengan ketekunan dalam belajar
mendenagr suara Tuhan yang mengingatkan kita. Ketika godaan itu datang
menghampiri kita, kadang yang lebih berperan adalah pikiran atau emosi dan
disanalah suara hati atau nurani kita diperlukan. Namun karena godaan terlalu
besar maka nurani menjadi tertutup suaranya, nyaris….tak terdengar, bahkan
tidak terdengar sama sekali. Mari kita belajar juga mendengarkan suara Tuhan
dalam hidup kita agar himat Tuhan selalu membantu kita dalam menghadapi segala
godaan dan cobaan.
Kesimpulan
Sebagaimana yang
telah di paparkan, sesungguhnya KKN memiliki bahasan yang berbeda-beda dari
setiap kepandekan kata tersebut. Pendapat
KKN dapat berbeda bagi orang yang satu dengan yang lain. Karena itu
pembahasan di suatu diskusi atau polemik dan pemberitaan di media mengenai hal
ini sering menjadi simpang siur. Yang jelas semua unsure KKN adalah tindak
Pidana dalam Politik, hokum dan juga tindak yang tidak sesuai dangan ajaran
agama. Korupsi harus dihadapi tegas. Bahwa ia merupakan musuh utama negara dan
pemerintahan. Bahwa koruptor adalah orang tercela dan sangat berbahaya yang
harus dihukum tanpa ampun. Karena korupsi adalah kejahatan orang profesional
yang rakus. Sudah berkecukupan, tapi serakah. Janganlah KKN menjadi kebudayaan
dan tradisi dalam hidup keremajaan kita. Justru kita sebagai generasi muda yang
takut akan Tuhan harus menjadi contoh dan pelopor dalam memberantas korupsi di
negeri ini.
0 komentar:
Posting Komentar